Minggu, 07 November 2010

My Twin my Rival


“Inas tungguin aku.”
“Buruan Ren.”
Aku mempercepat langkah agar cepat sampai di mobil Honda Jazz milik Inas. Aku selalu berangkat sama Inas, saudara kembarku. Aku senang bisa numpang mobil Inas. Soalnya, aku nggak usah merogoh uang sakuku, tapi di sisi lain aku nggak suka. Aku harus berangkat pagi dan itu bukan kebiasaanku.
Sejak kecil aku dan Inas nggak pernah rukun. Inas memang saudara kembarku, tapi bagiku Inas hanyalah teman biasa. Aku iri banget sama Inas. Inas selalu lebih unggul dari aku. Mulai dari prestasi sampai tampang. Tapi meskipun dia cantik, dia nggak pernah punya pacar. Cowok mana sih yang mau sama cewek kutu buku. Pasti nggak ada kan. Beda sama aku. Meskipun aku nggak secantik Inas, tapi banyak cowok yang mengaku merasa lebih nyaman saat bersamaku. Itulah yang kubanggakan dari diriku. Bisa menaklukan cowok. Tapi di sisi lain, ada rasa nggak puas. Yaitu saat Inas di bangga-banggakan oleh orang tuaku di hadapan semua keluargaku. Sedangkan aku dianggap seperti tak ada.
* * *
Sesampai di sekolah, aku langsung bergabung sama temen-temenku. Aku tak memperdulikan Inas yang sibuk memarkir mobilnya. Tampak di kejauhan seorang cowok berjalan menghampiriku. Keren banget, dengan gaya rambut ala Derby Romero dan cara berjalannya menunjukkan kalau dia cowok macho. Hatiku dag dig dug, serasa mau copot.
“Hai.” sapa dia.
“Hai juga.” jawabku.
“Kantor kepala sekolah dimana ya?”
“Di….di sebelah Laboratorium Biologi.” jawabku gugup.
“Makasih ya.”
Dia berlalu begitu saja tanpa memperkenalkan dirinya. Begitu ku mendengar suaranya, aku bagaikan melambung di angkasa. Tiba-tiba aku terkejut saat Ria menepuk bahuku. Seketika itu aku tersadar dari lamunanku.
“Kamu ini ngagetin aku aja.”
“Abisnya kamu pagi-pagi udah bengong. Ngelamunin siapa sih?”
“Cowok macho yang masuk ruang Kepsek barusan.”
“Oh….. anak baru itu.”
“Kamu tahu namanya?”
“Kata temen-temen namanya Gilang.”
Jadi namanya Gilang, aku bakalan naklukin dia. Jangan panggil Iren kalau nggak bisa dapetin Gilang.
Di dalam kelas, aku tak henti-hentinya memandangi Gilang yang kebetulan satu kelas sama aku dan duduk di depanku. Aku membayangkan ketika aku jadi pacarnya. Mungkin aku satu-satunya cewek yang paling bahagia bisa menggandeng cowok paling keren di SMAN Harapan Bangsa. Dan saat ku berjalan dengannya, semua mata tertuju padaku dan Gilang. Uh…..!! So Sweet.
Suara ketukan penghapus papan tulis mengagetkanku. Pak Amir sudah berdiri di sebelahku. Ternyata beliau dari tadi memperhatikanku. Akibat melamun Gilang, aku dihukum Pak Amir suruh mengerjakan soal Matematika di depan.
* * *
Saat perjalanan pulang, tiba-tiba.
Bruakkk…..!!!
Motor V-ixion menyerempet mobil Inas. Inas pun mendadak berhenti. Aku dan Inas beranjak keluar. Inas berteriak memanggil pengendara motor itu. Pengendara motor itu pun berhenti dan berbalik ke arah Inas. Saat membuka helm, ternyata Gilang.
“Sorry…sorry. Aku nggak sengaja.”
“Gilang……”
“Loh Inas. Kok kamu ada di sini?”
“Aku kan pindah kesini?.”
“Oh gitu. Ng……Iren…Inas kalian kembar.”
“Iya. Kamu udah lupa ya, aku kan pernah cerita sama kamu kalau aku punya saudara kembar.”
“Oh iya aku baru inget. Terus gimana mobil kamu? Apa perlu aku bawa ke bengkel?”
“Udahlah nggak apa-apa.”
“Beneran?”
“Iya bener.”
“Sekali lagi sorry ya.”
“Iya.”
Aku bingung memperhatikan mereka. Kok bisa mereka kenal.Udah akrab lagi. Mungkin Gilang itu temen SMP Inas waktu di Bogor. Dulu kan aku pernah pisah sekolah sama Inas. Aku mulai khawatir kalau Inas jatuh cinta sama Gilang. Itu nggak boleh terjadi. Aku harus secepatnya menaklukan hati Gilang.
* * *
Di dalam kamar, Inas tak henti-hentinya cerita tantang Gilang. Cerita masa-masa SMP bersama Gilang. Nggak biasa-biasanya Inas cerita masalah cowok. Apa Inas udah mulai ada feeling sama Gilang? Oh No….!!! Aku harus menghentikannya. Aku udah mulai nggak betah denger cerita Inas. Bisa-bisa telingaku terbakar. Aku langsung pergi ninggalin Inas.
“Ren…… kemana?”
“Keluar. Aku bosen denger cerita kamu tentang Gilang terus.”
“Emang kenapa? Kamu jealous?”
“Nggak. Ngapain aku jealous.”
“Yaudah kalau gitu. Dengerin dong.”
“.Nggak mau. Aku capek pengen tidur.”
“Tapi Ren…..”
Aku tak memperdulikan Inas. Aku langsung melengos pergi. Di luar aku mengumpat-umpat Inas. Uh…. Sebel!!!Baru kali ini aku saingan cowok sama Inas. Rasanya pikiranku berat sekali sehabis mendengar cerita Inas. Aku berjalan ke taman belakang dan duduk di tepi kolam ikan. Mungkin dengan memandangi bunga-bunga yang tumbuh di sekitar kolam, aku bisa melepas beban pikiranku.
Tiba-tiba terdengar suara deru mesin motor. Kulihat lewat pintu belakang yang bisa menembus halaman rumah. Ternyata Gilang sedang memarkir motornya di halaman rumahku. Ada perlu apa ya Gilang kemari? Apa dia mau bertemu denganku?. Mending kucoba temui Gilang. Barangkali Gilang emang mau bertemu denganku. Sebelum ku temui, aku menata rambutku yang tadi acak-acakan biar tampil cantik.
“Hai Lang. Ngapain kamu kesini?”
“Hai juga Ren. Aku mau ketemu Inas.”
“Inas…..”
“Iya Inas. Inasnya ada kan?”
“Ada kok. Bentar aku panggilkan dulu.”
Huh…..!!! Inas lagi Inas lagi. Kenapa sih Gilang cari Inas?. Kurang kerjaan banget cari Inas. Aku menaiki tangga dengan jengkel. Kubuka pintu kamar dengan kasar.
“Nas, ada yang cari kamu.”
“Siapa?”
“Gilang.”
“Kenapa Gilang kesini?”
“Nggak tahu.”
“Yaudah kalu gitu aku mau temui Gilang dulu.”
Aku masuk kamar dengan cemberut. Rasanya sebel banget. Ku rebahkan tubuhku di kasur. Sambil memandangi langit-langit kamar, aku masih membayangkan wajah Gilang. Senyumnya membuat jantung ini berdegup kencang.
Suara motor membuyarkan lamunanku. Aku langsung membuka gorden kamar dan kulihat Gilang membonceng Inas. Sepertinya hendak pergi. Pergi kemana ya mereka?. Akhirnya aku dapat ide yang cukup cemerlang. Aku berniat membuntuti mereka. Kebetulan mobil Inas nggak dipakai dan aku sempat lihat nomor polisi motor Gilang. So, aku dengan mudah menemukan mereka. Aku mulai membuntuti motor Gilang. Aku seperti polisi yang mengejar buronan. Tapi yang kali ini buronan cinta. He…he…he…
Akhirnya mereka sampai juga. Ternyata mereka di Romantic Café. Aku memperhatikan gelagat mereka dari jauh. Terlihat biasa. “ Syukurlah.” kataku dalam hati. Akhirnya aku pulang lebih dulu karena kalau Inas udah datang terus mobilnya nggak ada, pasti aku ntar di marahin.
* * *
Suasana dalam kelas sangat gaduh. Anak-anak banyak yang berlari kesana kemari. Pak Amir guru Matematika nggak datang. Makanya anak-anak merasa bebas. Saat aku mengobrol dengan Ria, tiba-tiba Gilang menghampiri meja kami. Hatiku deg-deg kan. Aku salah tingkah. Dia duduk tepat di depanku. Kami pun mengobrol. Dan akhirnya aku bisa mengendalikan debaran jantungku. Aku rasa ini saat yang tepat buat mengeluarkan sejuta rayuan cinta buat Gilang.
Teet….teet…teet…. Bel berbunyi. Saatnya pulang.
“Ren, Inas mana?” tanya Gilang saat di depan gerbang sekolah.
“Tuh ambil mobil.” jawabku cuek.
Gilang menghampiri Inas dan aku mengikutinya dari belakang.
“Ada acara nggak sekarang?”
“Nggak ada. Emang napa?”
“Jalan-jalan yuk.”
“Mm….. Ok deh. Ren, kamu bawa mobilku ya.”
Argh….!!! Aku jengkel banget. Kenapa sih dia ajak Inas?. Kan ada aku disini. Aku benci Inas. Kamu selamanya akan jadi rivalku.
Akhir-akhir ini Gilang sering ajak Inas pergi. Di sekolah pun mereka sering terlihat bersama. Kedekatan mereka bisa di artikan pacaran. Aku semakin benci sama Inas. Inas selalu merebut sesuatu yang seharusnya jadi milikku. Kenapa sih Inas selalu menang?. Uh….. bete!!! Aku tak kuat lagi melihat mereka berdua. Aku langsung berlari ke taman belakang sekolah. Aku duduk termenung sambil mamperhatikan kupu-kupu yang terbang lalu hinggap di satu bunga terus terbang lagi. Andai aku jadi kupu-kupu yang bisa terbang bebas, tak pernah sakit hati dan selalu bahagia. Aku merasakan ada lubang yang menganga di hatiku. Lubang yang di sebabkan oleh saudara kembarku sendiri. Aku tersentak kaget saat seseorang menepuk bahuku. Aku pun menoleh ternyata Ria.
“Ren, ayo ke kelas. Pak Budi udah datang.”
“Oh…. Iya.”
“Ayo cepat.”
Aku berlalu dari taman dan berlari menuju kelas. Di dalam kelas aku nggak konsen nerima pelajaran. Pikiranku masih di penuhi dengan nama Gilang dan Inas. Setiap aku melihat Gilang, lubang di hatiku semakin perih.
Di rumah pun aku tak banyak bicara sama Inas. Aku berusaha menghindar dari Inas. Tak ku hiraukan Inas berkata apa.
“Ren, tolong siapin makan siang dong.”
“Ren….Iren.”
Aku melengos pergi tanpa menjawab permintaan Inas. Di dalam kamar aku menangis. Meratapi nasibku. Hingga akhirnya aku terlelap.
* * *
Suara ketukan pintu membangunkanku. Aku beranjak bangun lalu membuka pintu. Ternyata Inas.
“Aku mau pergi sama Gilang. Kamu jaga rumah ya.”
Aku tak menjawab.
“Iren, kamu denger nggak sih.”
“Iya, iya. Bawel banget sih kamu.’
Aku langsung menutup pintu dengan keras. Bodoh amat jaga rumah. Kalau Inas pergi, aku juga pergi. Aku bergegas mandi dan berdandan. Ku lihat mobil Inas ada di garasi. Aku pun pergi ke tempat yang bisa menyenangkan hatiku.
Tepat pukul 10 malam, aku pulang. Ku lihat Inas berdiri di depan pintu. Sepertinya dia sedang menungguku pulang.
“Dari mana kamu Ren?”
“Keluar.”
“Keluar kemana?”
“Itu bukan urusan kamu.”
Aku pergi meninggalkan Inas dan langsung ke kamar.
Keesokan harinya, aku masih memikirkan masalah sikap Gilang ke aku. Sebenarnya dia suka sama siapa?. Kadang dia terlihat begitu perhatian ke aku. Tapi kadang juga dia perhatian sama Inas. Memang membingungkan. Tiba-tiba suara Inas mengejutkanku.
“Ren, aku mau ngomong sama kamu.”
“Ngomong aja.”
“Tapi ini penting Ren.”
“Emang masalah apa?”
“Ng……. masalah Gilang.”
“Mending kamu nggak usah ngomong kalau cuma ngomongin Gilang.”
* * *
Pagi-pagi buta aku udah siap-siap berangkat sekolah. Kali ini aku nggak berangkat sama Inas, tapi sama Ria. Kebetulan dia mau jemput aku. Saat aku mau berangkat, kulihat kamar Inas masih tertutup. Tumben banget jam segini dia belum bangun. Entah kesambet apa, rasanya aku pengen lihat keadaan Inas. Saat ku buka pintu. Terlihat Inas tergeletak di samping ranjang dengan hidung yang berlumuran darah. Aku langsung menghampiri Inas dan langsung membawanya ke rumah sakit.
Sesampai di rumah sakit, hatiku nggak tenang. Aku menunggu Inas yang lagi di periksa sama dokter. Lewat setengah jam, dokter keluar dengan diiringi dua orang perawat.
“Bagaimana keadaan saudara saya Dok?”
“Keadaanya sangat kritis. Penyakit yang di deritanya sudah menjalar kemana-mana.”
“Memangnya dia sakit apa Dok?”
“Dia menderita sakit leukimia stadium 4.”
“Apa Dok…..?!? Leukimia…?!?”
“Anda yang sabar saja.”
“Apa masih bisa di selamatkan Dok?”
“Kami dari tim dokter hanya bisa berusaha tapi Tuhanlah yang menentukan.”
“Apa saya boleh menemuinya?”
“Oh ya. Silakan.”
Aku pun masuk ke kamar. Ku lihat Inas terbaring lemah. Badannya sudah di kelilingi selang-selang oksigen. Aku duduk di samping Inas sambil ku pegang tangannya.
“Ren…..”
“Iya Nas aku ada di sini.”
“Kamu masih marah sama aku?”
“Aku nggak marah sama kamu kok Nas.”
“Sebenernya aku udah tahu kalau kamu suka sama Gilang. Aku pengen kasih tahu kamu kalau sebenernya Gilang bukan cowok baik-baik seperti yang kamu kira. Tapi setiap aku mau ngomong, kamu selalu menghindar. Makanya aku rela jadi pacarnya cowok brengsek itu agar kamu aman dari dia.
“Kenapa kamu lakukan itu Nas?”
“Aku udah nggak punya cara lain selain itu. Aku nggak mau kamu kecewa gara-gara Gilang. Aku nggak mau kamu tersakiti. Mending aku aja yang tersakiti.”
“Aku nggak tahu gimana cara membalas semua pengorbananmu.”
“Aku ingin kamu mulai melupakan Gilang dan anggaplah dia udah nggak ada dalam hidupmu. Dan mulailah semangat belajar dan gapai cita-citamu. Aku akan senang kalau kamu lakukan itu.”
“Aku akan lakukan itu Nas. Aku janji.”
“Makasih Ren. Aku menyayangimu.”
Inas menutup mata dan tidur selama-lamanya. Aku menangis. Begitu besar perjuangan Inas untuk melindungiku. Dia rela berkorban demi saudaranya yang nggak tahu diri ini. Aku sangat menyesal telah menyia-nyiakannya selama ini.
* * *
Tiga tahun telah berlalu, aku sudah berhasil melakukan apa yang Inas pinta. Saat pulang sekolah, aku pergi ke pemakaman. Aku berdo’a di samping makam Inas sambil membawa dua piala hasil Olimpiade Matematika. “Aku udah nepati janjiku Nas.” kataku dalam hati. Seusai berdo’a, aku pulang. Saat ku memandang langit. Terlihat bayangan Inas tersenyum padaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar